Sunday, December 21, 2008

Kecemasan Warga Senior Jepang Menghadapi Masa Tua

Wah wah wah bener bener mengeriken juga ya, temen - temen sudah buka koran Jawa Pos hari ini ? kebetulan saya tadi membaca koran dan melihat artikel ini dan saya kok kepikiran untuk posting :D mungkin untuk temen - temen tidak sempet baca ata kelewatan baca :D. Kita semua pasti akan memasuki usia senja tidak ada yang akan LOLOS, ada rencana apakah atao sudahkah temen temen memikirken apa yang akan terjadi di masa tua nanti ?ketika pasangan kita yang biasanya selalu mendapingi kita sudah tidak ada ataou pun anak - anak yang sudah beranjak dewasa dan mulai berkeluarga sendiri - sendiri. berikut cuplikan artikelnya mungkin bisa membantu temen - temen semuanya untuk mulai berpikir hehehehe :D

Rela Masuk Penjara Hanya untuk Cari Teman Ngobrol

Hari tua menjadi saat menakutkan bagi warga Jepang. Tak ada teman, tak punya keluarga di rumah. Mereka pun melakukan "apa saja" agar mendapat teman ngobrol. Termasuk melakukan kejahatan kecil-kecilan.

TATANG MAHARDIKA, Tokyo

PESAN itu singkat saja: "I'm responsible for cleaning your room. We welcome any comment (s) regarding my work on the reverse side (Saya bertanggung jawab terhadap kebersihan kamar Anda. Kami siap menerima komentar apa saja mengenai hasil kerja kami yang bisa ditulis di balik kertas ini)". Pada bagian akhir pesan yang tercantum dalam sebuah lipatan kertas itu tertulis nama dalam huruf kapital: KANEKO.

Kaneko bukan gadis lulusan sekolah pariwisata seperti laiknya petugas cleaning service di hotel-hotel Indonesia. Dia seorang wanita sepuh, berusia 70-an yang bekerja di Hotel Shinagawa Prince Hotel, Tokyo, Jepang.

"Kontrak kerja kami didasarkan pada penilaian para tamu yang tertulis seperti di kertas itu," kata Kaneko yang harus diwawancarai dengan sedikit "bahasa Tarzan" karena minimnya penguasaan bahasa Inggris.

Kaneko, seperti halnya Yoshui, pria 60 tahun yang bekerja di bagian kebersihan Stasiun Kereta Api Yokohama, memang sangat berkepentingan agar terus bisa bekerja. Tak semata-mata demi uang, tapi untuk menangkis apa yang menjadi ketakutan warga senior Jepang pada umumnya: kesepian.

"Di sini (di hotel, Red) setidaknya saya punya teman untuk bicara, baik itu rekan kerja maupun para tamu," katanya yang memang tampak berbinar setiap kali Jawa Pos mengajaknya berbincang saat dia membersihkan kamar.

Perasaan sepi di tengah keriuhan, tak berguna di antara derap kemajuan Jepang, memang telah berdampak begitu buruk bagi warga senior Jepang. Yang disebut senior di sini adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas yang jumlahnya mencapai seperlima dari total 127 juta penduduk Negeri Sakura.

Bulan lalu Departemen Kehakiman Jepang melaporkan, dalam lima tahun terakhir, tindak kriminal yang dilakukan warga senior negeri itu meningkat dua kali lipat menjadi 48.605 kasus. Jumlah itu tertinggi sejak 1978. Di Hokkaido yang terletak di bagian utara negeri monarki konstitusional tersebut, selama 2006-2008, kepolisian setempat mencatat 880 kasus kejahatan yang dilakukan warga senior. Jumlah tersebut lebih banyak dibanding yang dilakukan mereka yang berumur 30 tahun ke bawah, yakni hanya 642 kasus.

Kenyataan itu sungguh ironis karena, pertama, secara umum Jepang adalah negara dengan tingkat kriminalitas terendah di dunia. Kedua, fenomena "mbelingnya" warga senior Negeri Matahari Terbit itu justru bertentangan dengan teori kriminalitas yang diyakini di banyak negara selama ini: pelaku kejahatan terbesar adalah mereka yang berusia 20-an tahun.

Namun, jangan keburu berpikir seram tentang kaum tua Jepang. Sebab, berdasarkan Departemen Kehakiman Jepang, hampir semua kriminalitas yang mereka lakukan tergolong sangat ringan. Misalnya, mencopet atau mengutil di supermarket.

Itu pun banyak yang bukan dilandasi faktor uang. Yuji, seorang kakek yang berbincang dengan Jawa Pos di sebuah rumah makan 24 jam di Nagoya, menceritakan kalau banyak temannya yang sengaja melanggar hukum agar dipenjara.

"Mereka lebih senang dipenjara, banyak teman buat ngobrol. Makan dan minum gratis lagi," katanya lantas tertawa. Tak tertarik melakukan hal yang sama? "Ah tidak, bagaimanapun tetap enak di luar. Bisa bebas ke mana saja," kata Yuji.

Bebas ke mana saja? Sota, si pegawai rumah makan yang membantu menerjemahkan, menceritakan hal yang berbeda. Menurut dia, hampir setiap malam Yuji tertidur di rumah makan tersebut. "Saya tak tega mengusirnya. Tapi, dia selalu membayar makanannya kok. Pagi-pagi dia sudah pergi lagi, entah ke mana," ujarnya.

Menyusuri kehidupan malam di tiga kota besar di Jepang -Tokyo, Yokohama, dan Nagoya- pria seperti Yuji banyak ditemui. Ada yang tertidur di rumah makan, ada yang berkeliaran tak tentu arah, ada pula yang duduk-duduk atau rebahan di depan pertokoan.

"Saya bosan di rumah terus. Keluar, merokok, ngobrol sedikit di sana-sini atau kadang-kadang main kartu di rumah teman. Itu yang saya lakukan tiap malam. Kalau ada duit, saya pergi ke stadion nonton sepak bola," kata Hideo, seorang staf kebersihan taman kota di Hodagaya, Yokohama, yang mengaku putri tunggalnya yang tinggal di Shizuoka jarang mengunjungi.

Terisolasinya kalangan kakek-nenek di Jepang itu tak lepas dari rendahnya tingkat kelahiran di negeri dengan 47 prefektur (semacam negara bagian, Red) tersebut. Setelah istri atau suami meninggal, tak ada lagi yang bisa diajak bicara.

Dalam 27 tahun terakhir, angka kelahiran di Jepang telah menurun 27 persen. Itu yang menjadikan jumlah warga senior di negara kepulauan itu tiga kali lebih banyak daripada Tiongkok dan dua kali lebih banyak daripada Amerika Serikat. Padahal, jumlah penduduk kedua negara itu jauh di atas Jepang.

National Institute of Population and Social Security yang bermarkas di Tokyo bahkan memperkirakan, pada 2050, perbandingan warga tua dan muda di Jepang akan mencapai 4 : 1. Pemerintah Jepang jelas khawatir hal itu bakal terwujud. Karena itu, sekitar dua pekan lalu, pemerintahan Perdana Menteri Taro Aso tersebut mengajukan rancangan kenaikan tunjangan anak kepada parlemen. Tujuannya jelas, agar pasangan muda negeri itu tertarik untuk punya anak.

Punya anak memang tak murah di Jepang. Tapi, kalau memilih hidup melajang atau menikah tanpa anak, warga muda Jepang harus bersiap menghadapi hari-hari tua seperti Yuji. Melakukan apa saja untuk sekadar mendapatkan teman bicara, agar diperhatikan lingkungan sekitar.

Lebih suram lagi, akibat guncangan krisis ekonomi global, seperti dilaporkan harian The Daily Yomiuri pekan lalu, pemerintah Jepang akan memotong tunjangan untuk kaum tua yang sejak dua tahun lalu mencapai 220 miliar yen. Itu agar anggaran belanja mereka menjadi seimbang pada 2011.

Kaneko dan Hideo mengaku belum mendengar rencana pemerintah itu. Atau lebih tepatnya, mereka mungkin tak peduli. "Saya punya tabungan meski tak banyak. Saya yakin tak akan kekurangan uang. Yang saya takutkan jika saya kehilangan pekerjaan. Karena, itu berarti saya tak punya teman," kata Kaneko. (*/nw)


wuuiiihhh ..........................

0 comments:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free PDF Files